Dua
buah kata yang mungkin begitu mudah diucapkan, tapi sangat sulit dalam
mengaplikasikannya dalam kehidupan manusia sehari-hari. Ya, pengendalian diri.
Pengendalian diri adalah merupakan suatu keinginan dan kemampuan dalam menggapai kehidupan yang selaras, serasi dan seimbang pada hak dan kewajibannya sebagai individu dalam kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.
Pengertian Serasi, Selaras Dan
Seimbang Dalam Pengendalian Diri :
- Serasi adalah kesesuaian / kesamaan antar semua unsur pendukung agar menghasilkan keterpaduan yang utuh.
- Seimbang adalah jumlah yang sama besar antara hak dan kewajiban.
- Selaras adalah suatu hubungan baik yang dapat menciptakan ketentraman lahir dan batin.
- Serasi adalah kesesuaian / kesamaan antar semua unsur pendukung agar menghasilkan keterpaduan yang utuh.
- Seimbang adalah jumlah yang sama besar antara hak dan kewajiban.
- Selaras adalah suatu hubungan baik yang dapat menciptakan ketentraman lahir dan batin.
Di dalam kehidupan bermasyarakat
sehari-hari terdapat nilai dan norma yang berlaku secara umum serta harus kita
hormati dan jalankan sebagai warga masyarakat yang baik. Hukum pun ada untuk
mengatur warga masyarakatnya secara paksa untuk mengendalikan setiap manusia
yang ada di masyarakat tersebut.
Contoh Sikap Dan Perilaku
Pengendalian Diri :
1. Dalam Keluarga
- Hidup sederhana dan tidak suka pamer harta kekayaan dan kelebihannya.
- Tidak mengganggu ketentraman anggota keluarga lain.
- Tunduk dan taat terhadap aturan serta perintah orang tua.
- Hidup sederhana dan tidak suka pamer harta kekayaan dan kelebihannya.
- Tidak mengganggu ketentraman anggota keluarga lain.
- Tunduk dan taat terhadap aturan serta perintah orang tua.
2. Dalam Masyarakat
- Mencari sahabat sebanyak-banyaknya dan membenci permusuhan
- Saling menghormati dan menghargai orang lain
- Mengutamakan kepentingan bersama daripada kepentingan pribadi
- Mengikuti segara aturan yang berlaku dalam masyarakat
- Mencari sahabat sebanyak-banyaknya dan membenci permusuhan
- Saling menghormati dan menghargai orang lain
- Mengutamakan kepentingan bersama daripada kepentingan pribadi
- Mengikuti segara aturan yang berlaku dalam masyarakat
3. Dalam Lingkungan Sekolah Dan
Kampus
- Patuh dan taat pada peraturan di sekolah
- Menghormati dan menghargai teman, guru, karyawan, dll
- Berani mengatakan tidak pada ajakan dan paksaan tawuran pelajar / tawuran mahasiswa serta perbuatan tercela
- Hidup penuh kesederhanaan, tidak sombong dan gengsian
- Patuh dan taat pada peraturan di sekolah
- Menghormati dan menghargai teman, guru, karyawan, dll
- Berani mengatakan tidak pada ajakan dan paksaan tawuran pelajar / tawuran mahasiswa serta perbuatan tercela
- Hidup penuh kesederhanaan, tidak sombong dan gengsian
Lima jenis pengendalian diri :
1. Pengendalian diri melalui kemoralan
(Sila-samvara)
berarti mengontrol kata-kata dan perbuatan sesuai dengan
peraturan atau disiplin masyarakat atau berkelompok.
2. Pengendalian diri melalui perhatian
(Sati-samvara)
berarti sadar, tidak dibawa oleh keserakahan atau kebencian
pada saat melihat, mendengar, mencium, mengecap, menyentuh atau berpikir. Sadar
sebelum dan sewaktu berpikir, berbicara dan berbuat, tidak lengah dalam
saat-saat apapun, adalah segi lain dari pengendalian melalui perhatian.
berarti merenungkan hakekat dari empat kebutuhan-kebutuhan
hidup (pakaian, makanan, tempat tinggal, obat-obatan) dan tujuan sesungguhnya
dalam menggunakan mereka, tidak terseret oleh keinginan serakah. Menggunakan
atau menempatkan pandangan terang yang telah dicapai sewaktu berhubungan dengan
orang-orang atau sewaktu menghadapi persoalan adalah arti dari bentuk
pengendalian diri ini juga.
4. Pengendalian diri melalui kesadaran
(khanti-samvara)
Memiliki kesabaran pada saat menghadapi kelaparan,
sakit, kesukaran-kesukaran, gangguan-gangguan (seperti gangguan-gangguan dari
serangga-serangga) hinaan-hinaan dan pengalaman-pengalaman lain yang tidak
menyenangkan adalah arti yang dimaksudkan dengan pengendalian diri melalui
kesabaran.
5. Pengendalian diri melalui usaha atau
semangat (Viriya-samvara)
Pengendalian diri melalui usaha berarti menghilangkan
pikiran-pikiran jahat. Itu dapat juga ditujukan pada empat rangkaian praktek
usaha-usaha : memupuk kebaikan yang telah ada, mengembangkan kebaikan baru yang
belum dimiliki, meninggalkan keburukan yang telah dimiliki dan mencegah
timbulnya keburukan-keburukan baru.
5 Jurus / Tips Pengendalian Diri
Jurus pertama adalah
mengendalikan diri dengan menggunakan prinsip kemoralan. Setiap agama pasti mengajarkan kemoralan,
misalnya tidak mencuri, tidak membunuh, tidak menipu,
tidak berbohong, tidak mabuk-mabukan, tidak melakukan tindakan asusila.
Saat ada dorongan hati untuk melakukan sesuatu yang negatif, coba larikan ke rambu-rambu kemoralan. Apakah yang kita lakukan ini sejalan atau bertentangan dengan nilai-nilai moral dan agama?
Misalnya kita mendapat kesempatan untuk mendapat untung dengan cara yang tidak wajar. Bahasa yang lebih langsung adalah kesempatan untuk korupsi. Saat terjadi konflik diri antara ya atau tidak, mau melakukan atau tidak, kita dapat mengacu pada prinsip moral di atas. Agama mengajarkan kita untuk tidak mencuri atau mengambil barang yang bukan milik kita, tanpa seijin pemiliknya. Kalau kita teguh dengan prinsip moral ini maka kita tidak akan mau korupsi. Korupsi itu dosa. Korupsi itu karma buruk. Bisa masuk neraka, lho.
Jurus kedua pengendalian diri adalah dengan menggunakan kesadaran. Kita sadar saat suatu bentuk pikiran atau perasaan yang negatif muncul. Pada umumnya orang tidak mampu menangkap pikiran atau perasaan yang muncul. Dengan demikian mereka langsung lumpuh dan dikuasai oleh pikiran dan perasaan mereka.
Misalnya, seseorang menghina atau menyinggung kita. Kita marah. Nah, kalau kita tidak sadar atau waspada maka saat emosi marah ini muncul, dengan begitu cepat, tiba-tiba kita sudah dikuasai kemarahan ini. Jika kesadaran diri kita bagus maka kita akan tahu saat emosi marah ini muncul. Kita akan tahu saat emosi ini mulai mencengkeram dan menguasai diri kita. Kita tahu saat kita akan melakukan tindakan ”bodoh” yang seharusnya tidak kita lakukan.
Saat kita berhasil mengamati emosi maka kita dapat langsung menghentikan pengaruhnya. Kalau masih belum bisa atau dirasa berat sekali untuk mengendalikan diri, larikan pikiran kita pada prinsip moral. Biasanya kita akan lebih mampu mengendalikan diri.
Bagaimana jika sudah melakukan jurus satu, prinsip moral, dan jurus dua, kesadaran, ternyata kita tetap sulit mengendalikan diri?
Lakukan jurus ketiga yaitu dengan perenungan. Saat kita sudah benar-benar tidak tahan, mau ”meledak” karena dikuasai emosi, saat kita mau marah besar, coba lakukan perenungan. Tanyakan pada diri sendiri pertanyaan, misalnya, berikut ini:
Apa sih untungnya saya marah?
Apakah benar reaksi saya seperti ini?
Mengapa saya marah ya? Apakah alasan saya marah ini sudah benar?
Kalau saya marah dan sampai melakukan tindakan yang ”bodoh”, nanti reputasi saya rusak, kan saya yang rugi sendiri.
Dengan melakukan perenungan kerap kali maka kita akan mampu mengendalikan diri. Prinsip kerjanya sebenarnya sederhana. Saat emosi aktif maka logika kita nggak akan jalan. Demikian pula sebaliknya. Jadi, saat kita melakukan perenungan atau berpikir secara mendalam maka kadar kekuatan emosi atau keinginan kita akan menurun.
Jurus keempat pengendalian diri adalah dengan menggunakan kesabaran. Emosi naik, turun, timbul, tenggelam, datang, dan pergi seperti halnya pikiran. Saat emosi bergejolak sadari bahwa ini hanya sementara. Usahakan tidak larut dalam emosi. Gunakan kesabaran, tunggu sampai emosi ini surut, baru berpikir untuk menentukan respon yang bijaksana dan bertanggung jawab. Oh ya, tahukah Anda bahwa kata bertanggung jawab itu dalam bahasa Inggris adalah responsibility, yang bila kita pecah menjadi response-ability atau kemampuan memberikan respon?
Kalau sudah menggunakan kesabaran masih juga belum bisa, bagaimana?
Lakukan jurus kelima yaitu menyibukkan diri dengan pikiran atau aktivitas yang positif. Pikiran hanya bisa memikirkan satu hal dalam suatu saat. Ibarat layar bioskop, film yang ditampilkan hanya bisa satu film dalam suatu saat. Nah, film yang muncul di layar pikiran inilah yang mempengaruhi emosi dan persepsi kita. Saat kita berhasil memaksa diri memikirkan hanya hal-hal yang positif maka film di layar pikiran kita juga berubah. Dengan demikian pengaruh dari keinginan atau suatu emosi akan mereda.
Saat ada dorongan hati untuk melakukan sesuatu yang negatif, coba larikan ke rambu-rambu kemoralan. Apakah yang kita lakukan ini sejalan atau bertentangan dengan nilai-nilai moral dan agama?
Misalnya kita mendapat kesempatan untuk mendapat untung dengan cara yang tidak wajar. Bahasa yang lebih langsung adalah kesempatan untuk korupsi. Saat terjadi konflik diri antara ya atau tidak, mau melakukan atau tidak, kita dapat mengacu pada prinsip moral di atas. Agama mengajarkan kita untuk tidak mencuri atau mengambil barang yang bukan milik kita, tanpa seijin pemiliknya. Kalau kita teguh dengan prinsip moral ini maka kita tidak akan mau korupsi. Korupsi itu dosa. Korupsi itu karma buruk. Bisa masuk neraka, lho.
Jurus kedua pengendalian diri adalah dengan menggunakan kesadaran. Kita sadar saat suatu bentuk pikiran atau perasaan yang negatif muncul. Pada umumnya orang tidak mampu menangkap pikiran atau perasaan yang muncul. Dengan demikian mereka langsung lumpuh dan dikuasai oleh pikiran dan perasaan mereka.
Misalnya, seseorang menghina atau menyinggung kita. Kita marah. Nah, kalau kita tidak sadar atau waspada maka saat emosi marah ini muncul, dengan begitu cepat, tiba-tiba kita sudah dikuasai kemarahan ini. Jika kesadaran diri kita bagus maka kita akan tahu saat emosi marah ini muncul. Kita akan tahu saat emosi ini mulai mencengkeram dan menguasai diri kita. Kita tahu saat kita akan melakukan tindakan ”bodoh” yang seharusnya tidak kita lakukan.
Saat kita berhasil mengamati emosi maka kita dapat langsung menghentikan pengaruhnya. Kalau masih belum bisa atau dirasa berat sekali untuk mengendalikan diri, larikan pikiran kita pada prinsip moral. Biasanya kita akan lebih mampu mengendalikan diri.
Bagaimana jika sudah melakukan jurus satu, prinsip moral, dan jurus dua, kesadaran, ternyata kita tetap sulit mengendalikan diri?
Lakukan jurus ketiga yaitu dengan perenungan. Saat kita sudah benar-benar tidak tahan, mau ”meledak” karena dikuasai emosi, saat kita mau marah besar, coba lakukan perenungan. Tanyakan pada diri sendiri pertanyaan, misalnya, berikut ini:
Apa sih untungnya saya marah?
Apakah benar reaksi saya seperti ini?
Mengapa saya marah ya? Apakah alasan saya marah ini sudah benar?
Kalau saya marah dan sampai melakukan tindakan yang ”bodoh”, nanti reputasi saya rusak, kan saya yang rugi sendiri.
Dengan melakukan perenungan kerap kali maka kita akan mampu mengendalikan diri. Prinsip kerjanya sebenarnya sederhana. Saat emosi aktif maka logika kita nggak akan jalan. Demikian pula sebaliknya. Jadi, saat kita melakukan perenungan atau berpikir secara mendalam maka kadar kekuatan emosi atau keinginan kita akan menurun.
Jurus keempat pengendalian diri adalah dengan menggunakan kesabaran. Emosi naik, turun, timbul, tenggelam, datang, dan pergi seperti halnya pikiran. Saat emosi bergejolak sadari bahwa ini hanya sementara. Usahakan tidak larut dalam emosi. Gunakan kesabaran, tunggu sampai emosi ini surut, baru berpikir untuk menentukan respon yang bijaksana dan bertanggung jawab. Oh ya, tahukah Anda bahwa kata bertanggung jawab itu dalam bahasa Inggris adalah responsibility, yang bila kita pecah menjadi response-ability atau kemampuan memberikan respon?
Kalau sudah menggunakan kesabaran masih juga belum bisa, bagaimana?
Lakukan jurus kelima yaitu menyibukkan diri dengan pikiran atau aktivitas yang positif. Pikiran hanya bisa memikirkan satu hal dalam suatu saat. Ibarat layar bioskop, film yang ditampilkan hanya bisa satu film dalam suatu saat. Nah, film yang muncul di layar pikiran inilah yang mempengaruhi emosi dan persepsi kita. Saat kita berhasil memaksa diri memikirkan hanya hal-hal yang positif maka film di layar pikiran kita juga berubah. Dengan demikian pengaruh dari keinginan atau suatu emosi akan mereda.
Pengendalian Diri Dalam Panca Yama Brata
Panca yama brata adalah lima macam
pengendalian diri tingkat pertama untuk mencapai kesempurnaan dan kesucian
jasmani. Panca yama brata harus dilakukan paling awal, karena setelah terbebas
dari perbuatan-perbuatan yang kotor akan mampu membuat pikiran dan hati menjadi
suci. Dengan kesucian pikiran dan hati terbebas dari beban perbuatan kotor yang
dilakukan oleh badan jasmani akan mampu menenangkan pikiran dan pemusatan
pikiran pun akan dapat dilakukan untuk melaksanakan kesucian bathin.
Bagian-bagian panca yama brata yang
diuraikan dalam silakrama adalah Ahimsa, Brahmacari, Satya,
Awyawahara/awyawaharika, dan Astainya/asteya. Berikut ini akan dijelaskan dari
masing-masing bagian tersebut.
1. Ahimsa
Kata ahimsa sudah tidak asing lagi
didengar dalam masyarakat. Ahimsa berarti tidak membunuh ataupun menyakiti.
Menurut ahimsa mengajarkan untuk tidak melakukan perbuatan, perkataan, dan
pikiran yang dapat menyakiti orang ataupun mahluk lainnya. Melakukan perbuatan
seperti menyakiti sangat dilarang oleh Agama Hindu. Apabila perbuatan.
Perkataan, ataupun pikiran yang menyakitkan itu dilakukan tentunya akan terus
membekas dalam alam pikiran yang akan membuat sipelaku selalu dalam keadaan
bingung dan gelisah. Dengan keadaan seperti itu maka suatu ketenang pikiran
tidak akan bisa tercapai.
Pembunuhan dapat
dilakukan bila tidak didasari oleh dorongan nafsu dan indria, tetapi didasarkan
pada sastra. Dalam sastra terdapat pengecualian bahwa pembunuhan itu dapat dilakukan,
yaitu :
1. Dewa puja : yaitu pembunuhan dibenarkan untuk tujuan yajna
atau dipersembahkan kepada tuhan;
2. Untuk kepentingan dharma;
3. Atiti puja : yaitu untuk diberikan kepada tamu;
4. Menjalankan swadharma kehidupan rumah tangga;
5. Untuk kesehatan;
6. Melindungi diri dari segala ancaman pembunuhan;
7. Tidak dilatar belakangi oleh sad ripu.
Tujuh bentuk pengecualian tersebut
duiraikan dalam sila kramaning aguron-guron (wrespati tattwa). Namun sebelum
melakukan suatu pembunuhan terlebih dahulu melakukan upacara. Seperti di bali
dikenal yang namanya mapapada yaitu memberikan doa terhadap binatang
yang akan dijadikan persembahan. Upacara mapapada dilakukan pada binatang yang
berkaki empat seperti babi, sapid an lain-lain.
2. Brahmacari
Brahmacari merupakan masa menuntut ilmu.
Tarafan hidup dengan tahapan belajar dibedakan atas dua masa yaitu :
1. Brahmacari saat usia lajang atau belum menikah;
2. Brahmacari pada masa berumah tangga.
Pada brahmacari yang memiliki
pengertian pertama tersebut adalah masa menuntut ataupun masa belajar dari guru
dan sastra agama. Pada masa ini harus benar-benar belajar tanpa menghiraukan
kehidupan duniawi, dalam artian bahwa pada masa ini kita harus mampu
mengendalikan diri dari segala godaan nafsu dunia agar konsentrasi dalam
belajar dapat tercapai.
3. Satya
Satya
berarti setia, kejujuran, dan kebenaran. Satya ini harus dipelajari dan
dilaksanakan khususnya bagi seorang calon diksa agar setelah natinya menjadi
pandita dapat menjadi tauladan atau panutan bagi umatnya. Ajaran tentang
kesetiaan, kejujuran dan menjaga suatu kebenaran akan dapat dilakukan setelah
terbiasa. Jadi sebelum menjadi seorang pandita maka terlebih dahulu harus
membiasakan diri untuk menjalankan ajaran satya.
Ajaran
satya ini dapat dibagi menjadi lima yang disebut dengan panca satya, yaitu
1. Satya laksana ; yaitu setia pada perbuatan. Hidup sebagai
manusia yang dipengaruhi oleh triguna maka seringkali manusia tidak mengakui
apa yang telah ia lakukan. Dalam satya laksana yang dipentingkan adalah
bagaimana manusia mampu bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukan. Maka
berani berbuat harus berani bertanggung jawab. Manusia juga harus jujur dan
selalu melakukan perbuatan yang berdasarkan pada ajaran dharma. Segala bentuk
perbuatan yang adharma harus bisa dikendalikan dengan menumbuhkan sifat satwam
didalam diri.
2. Satya mitra : yaitu setia terhadap sahabat. Artinya dalam
mencari sahabat hendaknya didasari atas kejujuran. Dewasa ini kebanyakan
manusia dalam mencari teman hanya untuk kepentingan sendiri. Hal ini
dikarenakan manusia hanya ingin mencari keuntungan dalam pertemanan sehingga
ketika pada waktunya teman atau sahabat itu tidak memberikan suatu keuntungan
maka ia akan meninggalkan temannya. Sikap inilah yang harus dikendalikan dan
dihindari, karena tidak ada harta yang lebih berarti dari sahabat.
3. Satya wacana : yaitu setia terhadap kata-kata. Artinya
manusia harus berbicara jujur, apa adanya dan sesuai dengan kebenaran. Kita
harus mampu menghindari dan mengendalikan diri dari perkataan yang tidak benar,
palsu ataupun memfitnah. Karena fitnah lebih kejam dari pembunuhan.
4. Satya semaya : yaitu setia terhadap janji. Seringkali dalam
kehidupan ini manusia memberikan janji-janji palsu dan ini sering dilakukan
oleh calon wakil rakyat ataupun pemimpin. Ini harus dihindari, karena sekali
berbohong akan menimbulkan kebohongan yang lain. Tidak mampu menepati janji
akan selalu membawa kegelisahan dalam hati dan pikiran sehingga ketenangan yang
diharapkan pun tidak dapat dicapai.
5. Satya hredaya : yaitu setia pada kata hati. Seringkali kita
dalam melakukan dan berkata bertentangan dengan kata hati. Pikiran yang tidak
benar atau negative thinking harus dihindari. Karena pikiran yang tidak
baik akan mendorong manusia untuk berkata dan berbuat yang bertentangan dengan
dharma.
4. Awyawahara
Awyawahara berarti tidak terikat
pada kehidupan duniawi (tan awiwada). Dalam kehidupan ini harus mampu
mengendalikan indria dari obyek duniawi. Karena bila indria yang mengendalikan
manusia maka ia akan terjerumus dalam kesengsaraan. Kesengsaraan itu timbul
dari dalam diri manusia yang tidak pernah merasa puas terhadap hal-hal yang
bersifat duniawi. Ketertarikan terhadap benda duniawi akan membuat manusia
selalu tenggelam dalam awidya.
Setelah menjadi
seorang pandita, maka yang bersangkutan tidak dibenarkan melakukan kegiatan jual
beli dengan tedensi keuntungan yang berlipat-lipat, simpan pinjam (rna rni) dan
memperlihatkan kepandaian serta memupuk dosa kecuali menjaga harta warisan,
menjaga keutuhan keluarga, dan kesejahteraan istri, anak dan cucu.
5. Asteya
Asteya berarti tidak mencuri atau
memperkosa milik orang lain seperti angutil, anumpu, dan abegal. Dalam
silakrama disebutkan sebagai berikut :
"apabila
seorang wiku berjalan jauh dan dalam perjalanan haus dan lapar lalu mengambil
tumbuhan milik orang tanpa bilang hanya sebatas penghilang haus dan lapar maka
ia terlepas dari dosa"
Ini berarti bahwa
siapapun orangnya khususnya pandita diperbolehkan mengambil milik orang lain
ketika ia merasa haus dan lapar dalam perjalanan jauh. Tetapi barang yang
diambil hanya sebatas untuk menghilangkan rasa lapar dan dahaga. Tentu tidak
dibenarkan barang yang diambil melebihi keperluan apalagi sampai dijual. Segala
perbuatan hendaknya tidak didasari oleh sad ripu.
Jadi segala
keinginan untuk mengambil ataupun memperkosa milik orang lain yang didasari
oleh sad ripu harus dikendalikan.
0 komentar: