Source: http://amronbadriza.blogspot.com/2012/10/cara-membuat-anti-copy-paste-di-blog.html#ixzz2F0lFLFDr

Rabu, 04 April 2012

Pengendalian Diri

Dua buah kata yang mungkin begitu mudah diucapkan, tapi sangat sulit dalam mengaplikasikannya dalam kehidupan manusia sehari-hari. Ya, pengendalian diri.


Pengendalian diri adalah merupakan suatu keinginan dan kemampuan dalam menggapai kehidupan yang selaras, serasi dan seimbang pada hak dan kewajibannya sebagai individu dalam kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.
Pengertian Serasi, Selaras Dan Seimbang Dalam Pengendalian Diri :
- Serasi adalah kesesuaian / kesamaan antar semua unsur pendukung agar menghasilkan keterpaduan yang utuh.
- Seimbang adalah jumlah yang sama besar antara hak dan kewajiban.
- Selaras adalah suatu hubungan baik yang dapat menciptakan ketentraman lahir dan batin.
Di dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari terdapat nilai dan norma yang berlaku secara umum serta harus kita hormati dan jalankan sebagai warga masyarakat yang baik. Hukum pun ada untuk mengatur warga masyarakatnya secara paksa untuk mengendalikan setiap manusia yang ada di masyarakat tersebut.
Contoh Sikap Dan Perilaku Pengendalian Diri :
1. Dalam Keluarga
- Hidup sederhana dan tidak suka pamer harta kekayaan dan kelebihannya.
- Tidak mengganggu ketentraman anggota keluarga lain.
- Tunduk dan taat terhadap aturan serta perintah orang tua.
2. Dalam Masyarakat
- Mencari sahabat sebanyak-banyaknya dan membenci permusuhan
- Saling menghormati dan menghargai orang lain
- Mengutamakan kepentingan bersama daripada kepentingan pribadi
- Mengikuti segara aturan yang berlaku dalam masyarakat
3. Dalam Lingkungan Sekolah Dan Kampus
- Patuh dan taat pada peraturan di sekolah
- Menghormati dan menghargai teman, guru, karyawan, dll
- Berani mengatakan tidak pada ajakan dan paksaan tawuran pelajar / tawuran mahasiswa serta perbuatan tercela
- Hidup penuh kesederhanaan, tidak sombong dan gengsian
Lima jenis pengendalian diri :
1.   Pengendalian diri melalui kemoralan (Sila-samvara)
berarti mengontrol kata-kata dan perbuatan sesuai dengan peraturan atau disiplin masyarakat atau berkelompok.
2.   Pengendalian diri melalui perhatian (Sati-samvara)
berarti sadar, tidak dibawa oleh keserakahan atau kebencian pada saat melihat, mendengar, mencium, mengecap, menyentuh atau berpikir. Sadar sebelum dan sewaktu berpikir, berbicara dan berbuat, tidak lengah dalam saat-saat apapun, adalah segi lain dari pengendalian melalui perhatian.
3.   Pengendalian diri melalui pandangan terang (Nana-samvara)
berarti merenungkan hakekat dari empat kebutuhan-kebutuhan hidup (pakaian, makanan, tempat tinggal, obat-obatan) dan tujuan sesungguhnya dalam menggunakan mereka, tidak terseret oleh keinginan serakah. Menggunakan atau menempatkan pandangan terang yang telah dicapai sewaktu berhubungan dengan orang-orang atau sewaktu menghadapi persoalan adalah arti dari bentuk pengendalian diri ini juga.
4.   Pengendalian diri melalui kesadaran (khanti-samvara)
 Memiliki kesabaran pada saat menghadapi kelaparan, sakit, kesukaran-kesukaran, gangguan-gangguan (seperti gangguan-gangguan dari serangga-serangga) hinaan-hinaan dan pengalaman-pengalaman lain yang tidak menyenangkan adalah arti yang dimaksudkan dengan pengendalian diri melalui kesabaran.
5.   Pengendalian diri melalui usaha atau semangat (Viriya-samvara)
Pengendalian diri melalui usaha berarti menghilangkan pikiran-pikiran jahat. Itu dapat juga ditujukan pada empat rangkaian praktek usaha-usaha : memupuk kebaikan yang telah ada, mengembangkan kebaikan baru yang belum dimiliki, meninggalkan keburukan yang telah dimiliki dan mencegah timbulnya keburukan-keburukan baru.

5 Jurus / Tips Pengendalian Diri


Jurus pertama adalah mengendalikan diri dengan menggunakan prinsip kemoralan. Setiap agama pasti mengajarkan kemoralan, misalnya tidak mencuri, tidak membunuh, tidak menipu, tidak berbohong, tidak mabuk-mabukan, tidak melakukan tindakan asusila.

Saat ada dorongan hati untuk melakukan sesuatu yang negatif, coba larikan ke rambu-rambu kemoralan. Apakah yang kita lakukan ini sejalan atau bertentangan dengan nilai-nilai moral dan agama?

Misalnya kita mendapat kesempatan untuk mendapat untung dengan cara yang tidak wajar. Bahasa yang lebih langsung adalah kesempatan untuk korupsi. Saat terjadi konflik diri antara ya atau tidak, mau melakukan atau tidak, kita dapat mengacu pada prinsip moral di atas. Agama mengajarkan kita untuk tidak mencuri atau mengambil barang yang bukan milik kita, tanpa seijin pemiliknya. Kalau kita teguh dengan prinsip moral ini maka kita tidak akan mau korupsi. Korupsi itu dosa. Korupsi itu karma buruk. Bisa masuk neraka, lho.

Jurus kedua pengendalian diri adalah dengan menggunakan kesadaran. Kita sadar saat suatu bentuk pikiran atau perasaan yang negatif muncul. Pada umumnya orang tidak mampu menangkap pikiran atau perasaan yang muncul. Dengan demikian mereka langsung lumpuh dan dikuasai oleh pikiran dan perasaan mereka.

Misalnya, seseorang menghina atau menyinggung kita. Kita marah. Nah, kalau kita tidak sadar atau waspada maka saat emosi marah ini muncul, dengan begitu cepat, tiba-tiba kita sudah dikuasai kemarahan ini. Jika kesadaran diri kita bagus maka kita akan tahu saat emosi marah ini muncul. Kita akan tahu saat emosi ini mulai mencengkeram dan menguasai diri kita. Kita tahu saat kita akan melakukan tindakan ”bodoh” yang seharusnya tidak kita lakukan.

Saat kita berhasil mengamati emosi maka kita dapat langsung menghentikan pengaruhnya. Kalau masih belum bisa atau dirasa berat sekali untuk mengendalikan diri, larikan pikiran kita pada prinsip moral. Biasanya kita akan lebih mampu mengendalikan diri.

Bagaimana jika sudah melakukan jurus satu, prinsip moral, dan jurus dua, kesadaran, ternyata kita tetap sulit mengendalikan diri?

Lakukan jurus ketiga yaitu dengan perenungan. Saat kita sudah benar-benar tidak tahan, mau ”meledak” karena dikuasai emosi, saat kita mau marah besar, coba lakukan perenungan. Tanyakan pada diri sendiri pertanyaan, misalnya, berikut ini:

Apa sih untungnya saya marah?
Apakah benar reaksi saya seperti ini?
Mengapa saya marah ya? Apakah alasan saya marah ini sudah benar?
Kalau saya marah dan sampai melakukan tindakan yang ”bodoh”, nanti reputasi saya rusak, kan saya yang rugi sendiri.

Dengan melakukan perenungan kerap kali maka kita akan mampu mengendalikan diri. Prinsip kerjanya sebenarnya sederhana. Saat emosi aktif maka logika kita nggak akan jalan. Demikian pula sebaliknya. Jadi, saat kita melakukan perenungan atau berpikir secara mendalam maka kadar kekuatan emosi atau keinginan kita akan menurun.

Jurus keempat pengendalian diri adalah dengan menggunakan kesabaran. Emosi naik, turun, timbul, tenggelam, datang, dan pergi seperti halnya pikiran. Saat emosi bergejolak sadari bahwa ini hanya sementara. Usahakan tidak larut dalam emosi. Gunakan kesabaran, tunggu sampai emosi ini surut, baru berpikir untuk menentukan respon yang bijaksana dan bertanggung jawab. Oh ya, tahukah Anda bahwa kata bertanggung jawab itu dalam bahasa Inggris adalah responsibility, yang bila kita pecah menjadi response-ability atau kemampuan memberikan respon?

Kalau sudah menggunakan kesabaran masih juga belum bisa, bagaimana?

Lakukan jurus kelima yaitu menyibukkan diri dengan pikiran atau aktivitas yang positif. Pikiran hanya bisa memikirkan satu hal dalam suatu saat. Ibarat layar bioskop, film yang ditampilkan hanya bisa satu film dalam suatu saat. Nah, film yang muncul di layar pikiran inilah yang mempengaruhi emosi dan persepsi kita. Saat kita berhasil memaksa diri memikirkan hanya hal-hal yang positif maka film di layar pikiran kita juga berubah. Dengan demikian pengaruh dari keinginan atau suatu emosi akan mereda.


Pengendalian Diri Dalam Panca Yama Brata
Panca yama brata adalah lima macam pengendalian diri tingkat pertama untuk mencapai kesempurnaan dan kesucian jasmani. Panca yama brata harus dilakukan paling awal, karena setelah terbebas dari perbuatan-perbuatan yang kotor akan mampu membuat pikiran dan hati menjadi suci. Dengan kesucian pikiran dan hati terbebas dari beban perbuatan kotor yang dilakukan oleh badan jasmani akan mampu menenangkan pikiran dan pemusatan pikiran pun akan dapat dilakukan untuk melaksanakan kesucian bathin.
Bagian-bagian panca yama brata yang diuraikan dalam silakrama adalah Ahimsa, Brahmacari, Satya, Awyawahara/awyawaharika, dan Astainya/asteya. Berikut ini akan dijelaskan dari masing-masing bagian tersebut.
1.     Ahimsa
Kata ahimsa sudah tidak asing lagi didengar dalam masyarakat. Ahimsa berarti tidak membunuh ataupun menyakiti. Menurut ahimsa mengajarkan untuk tidak melakukan perbuatan, perkataan, dan pikiran yang dapat menyakiti orang ataupun mahluk lainnya. Melakukan perbuatan seperti menyakiti sangat dilarang oleh Agama Hindu. Apabila perbuatan. Perkataan, ataupun pikiran yang menyakitkan itu dilakukan tentunya akan terus membekas dalam alam pikiran yang akan membuat sipelaku selalu dalam keadaan bingung dan gelisah. Dengan keadaan seperti itu maka suatu ketenang pikiran tidak akan bisa tercapai.
Pembunuhan dapat dilakukan bila tidak didasari oleh dorongan nafsu dan indria, tetapi didasarkan pada sastra. Dalam sastra terdapat pengecualian bahwa pembunuhan itu dapat dilakukan, yaitu :
1.       Dewa puja : yaitu pembunuhan dibenarkan untuk tujuan yajna atau dipersembahkan kepada tuhan;
2.       Untuk kepentingan dharma;
3.       Atiti puja : yaitu untuk diberikan kepada tamu;
4.       Menjalankan swadharma kehidupan rumah tangga;
5.       Untuk kesehatan;
6.       Melindungi diri dari segala ancaman pembunuhan;
7.       Tidak dilatar belakangi oleh sad ripu.
Tujuh bentuk pengecualian tersebut duiraikan dalam sila kramaning aguron-guron (wrespati tattwa). Namun sebelum melakukan suatu pembunuhan terlebih dahulu melakukan upacara. Seperti di bali dikenal yang namanya mapapada yaitu memberikan doa terhadap binatang yang akan dijadikan persembahan. Upacara mapapada dilakukan pada binatang yang berkaki empat seperti babi, sapid an lain-lain.
2.     Brahmacari
Brahmacari merupakan masa menuntut ilmu. Tarafan hidup dengan tahapan belajar dibedakan atas dua masa yaitu :
1.       Brahmacari saat usia lajang atau belum menikah;
2.       Brahmacari pada masa berumah tangga.
Pada brahmacari yang memiliki pengertian pertama tersebut adalah masa menuntut ataupun masa belajar dari guru dan sastra agama. Pada masa ini harus benar-benar belajar tanpa menghiraukan kehidupan duniawi, dalam artian bahwa pada masa ini kita harus mampu mengendalikan diri dari segala godaan nafsu dunia agar konsentrasi dalam belajar dapat tercapai.
3.     Satya
Satya berarti setia, kejujuran, dan kebenaran. Satya ini harus dipelajari dan dilaksanakan khususnya bagi seorang calon diksa agar setelah natinya menjadi pandita dapat menjadi tauladan atau panutan bagi umatnya. Ajaran tentang kesetiaan, kejujuran dan menjaga suatu kebenaran akan dapat dilakukan setelah terbiasa. Jadi sebelum menjadi seorang pandita maka terlebih dahulu harus membiasakan diri untuk menjalankan ajaran satya.
Ajaran satya ini dapat dibagi menjadi lima yang disebut dengan panca satya, yaitu
1.     Satya laksana ; yaitu setia pada perbuatan. Hidup sebagai manusia yang dipengaruhi oleh triguna maka seringkali manusia tidak mengakui apa yang telah ia lakukan. Dalam satya laksana yang dipentingkan adalah bagaimana manusia mampu bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukan. Maka berani berbuat harus berani bertanggung jawab. Manusia juga harus jujur dan selalu melakukan perbuatan yang berdasarkan pada ajaran dharma. Segala bentuk perbuatan yang adharma harus bisa dikendalikan dengan menumbuhkan sifat satwam didalam diri.
2.     Satya mitra : yaitu setia terhadap sahabat. Artinya dalam mencari sahabat hendaknya didasari atas kejujuran. Dewasa ini kebanyakan manusia dalam mencari teman hanya untuk kepentingan sendiri. Hal ini dikarenakan manusia hanya ingin mencari keuntungan dalam pertemanan sehingga ketika pada waktunya teman atau sahabat itu tidak memberikan suatu keuntungan maka ia akan meninggalkan temannya. Sikap inilah yang harus dikendalikan dan dihindari, karena tidak ada harta yang lebih berarti dari sahabat.
3.     Satya wacana : yaitu setia terhadap kata-kata. Artinya manusia harus berbicara jujur, apa adanya dan sesuai dengan kebenaran. Kita harus mampu menghindari dan mengendalikan diri dari perkataan yang tidak benar, palsu ataupun memfitnah. Karena fitnah lebih kejam dari pembunuhan.
4.     Satya semaya : yaitu setia terhadap janji. Seringkali dalam kehidupan ini manusia memberikan janji-janji palsu dan ini sering dilakukan oleh calon wakil rakyat ataupun pemimpin. Ini harus dihindari, karena sekali berbohong akan menimbulkan kebohongan yang lain. Tidak mampu menepati janji akan selalu membawa kegelisahan dalam hati dan pikiran sehingga ketenangan yang diharapkan pun tidak dapat dicapai.
5.     Satya hredaya : yaitu setia pada kata hati. Seringkali kita dalam melakukan dan berkata bertentangan dengan kata hati. Pikiran yang tidak benar atau negative thinking harus dihindari. Karena pikiran yang tidak baik akan mendorong manusia untuk berkata dan berbuat yang bertentangan dengan dharma.
4.     Awyawahara
Awyawahara berarti tidak terikat pada kehidupan duniawi (tan awiwada). Dalam kehidupan ini harus mampu mengendalikan indria dari obyek duniawi. Karena bila indria yang mengendalikan manusia maka ia akan terjerumus dalam kesengsaraan. Kesengsaraan itu timbul dari dalam diri manusia yang tidak pernah merasa puas terhadap hal-hal yang bersifat duniawi. Ketertarikan terhadap benda duniawi akan membuat manusia selalu tenggelam dalam awidya.
Setelah menjadi seorang pandita, maka yang bersangkutan tidak dibenarkan melakukan kegiatan jual beli dengan tedensi keuntungan yang berlipat-lipat, simpan pinjam (rna rni) dan memperlihatkan kepandaian serta memupuk dosa kecuali menjaga harta warisan, menjaga keutuhan keluarga, dan kesejahteraan istri, anak dan cucu.
5.     Asteya
Asteya berarti tidak mencuri atau memperkosa milik orang lain seperti angutil, anumpu, dan abegal. Dalam silakrama disebutkan sebagai berikut :
"apabila seorang wiku berjalan jauh dan dalam perjalanan haus dan lapar lalu mengambil tumbuhan milik orang tanpa bilang hanya sebatas penghilang haus dan lapar maka ia terlepas dari dosa"
Ini berarti bahwa siapapun orangnya khususnya pandita diperbolehkan mengambil milik orang lain ketika ia merasa haus dan lapar dalam perjalanan jauh. Tetapi barang yang diambil hanya sebatas untuk menghilangkan rasa lapar dan dahaga. Tentu tidak dibenarkan barang yang diambil melebihi keperluan apalagi sampai dijual. Segala perbuatan hendaknya tidak didasari oleh sad ripu.
Jadi segala keinginan untuk mengambil ataupun memperkosa milik orang lain yang didasari oleh sad ripu harus dikendalikan.


Related Posts by Categories

0 komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Blogger Template by Clairvo